Rabu, 05 November 2014

Skripsi Manajemen:Pengaruh LDR, NPL, ROA dan BOPO



BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Lembaga
perbankan merupakan salah satu tulang punggung perekonomian suatu negara, karena memiliki fungsi
intermediasi atau sebagai perantara antara pemilik modal (fund supplier) dengan pengguna
dana (fund user). Bank dengan kinerja
keuangan yang sehat menjadi tujuan penting, agar fungsi intermediasi dapat berjalan lancar. Krisis moneter yang
terjadi sejak pertengahan tahun 1997, telah
mengakibatkan krisis perbankan yang parah di
Indonesia. Kondisi ini mendorong
dilakukannya restrukturisasi perbankan.Salah satu tumpuan program ini adalah adanya aturan tentang Rasio
Kecukupan Modal, yakni Capital Adequacy Ratio (CAR) dengan tujuan agar bank
dapat mengembangkan aktivanya secara
aman sehingga dapat mendorong pemberdayaan bank.
Tingkat kesehatan bank dapat
dinilai dari beberapa indikator, yakni permodalan,
kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas, sensitivitas terhadap resiko.
CAR merupakan salah satu indikator kesehatan permodalan bank.
Penelitian aspek permodalan suatu
bank lebih dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana
atau apakah modal bank tersebut telah memadai untuk menunjang kebutuhan. Adapun kriteria yang dikeluarkan
Bank Indonesia dalam Arsitektur Perbankan
Indonesia (2004) untuk sebuah bank bisa menjadi bank jangkar (anchor bank) adalah : 1.
rasio kecukupan modal (CAR) minimum 12%
dari Aktiva Tertimbang Menurut
Resiko (ATMR) dengan rasio modal inti minimum 6%, 2.
rasio Return On Asset (ROA) minimal 1,5%, 3. pertumbuhan kredit riil sedikitnya 22% dengan
Loan to Deposit Ratio (LDR) sedikitnya
50% dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan) dibawah 5%, 4. merupakan perusahaan publik atau berencana
dalam waktu dekat menjadi perusahaan
publik danmemiliki kemampuan menjadi konsolidator.
Dalam perhitungan kecukupan
permodalan bank, bobot kategori risiko (ATMR)
berperan dalam menentukan jumlah minimum permodalan yang harus dimiliki oleh bank. Semakin kecil ATMR yang
dikenakan pada satu debitur / kelompok
debitur maka jumlah modal minimum yang harus disediakan bank akan semakin kecil. Singkatnya, dengan jumlah modal
yang ada, penurunan ATMR akan memberikan
keleluasaan bagi bank untuk melakukan ekspansi pembiayaan / financing kepada debitur. Jadi kalau ATMR bank
semakin besar maka bank juga harus
meningkatkan modalnya kalau tidak presentase CAR nya akan menurun.
Perbandingan sederhana antara
porsi modal terhadap kekayaan bank bisa dilihat
dari rata-rata CAR pada bulan Maret 2006 sebesar 21,84%. Nilai tersebut jauh diatas CAR minimal 8%. Nilai CAR tersebut
lebih disebabkan nilai ATMR yang masih
rendah. Perhitungan bobot ATMR yang diturunkan, menyebabkan nilai CAR akan semakin kurang sensitif
terhadap pertumbuhan pinjaman tersebut.
Jadi ada kecenderungan nilai CAR
tersebut disebabkan bank mencari penyaluran dana yang aman-aman saja. Hal ini dilakukan
dengan mengalokasikasikan penyaluran
dananya ke alternatif aktiva yang beresiko rendah, misalnya penempatan pada Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) / Obligasi pemerintah, atau dengan
kata lain bank bisa saja mengurangi penyaluran kredit agar bisa menjaga nilai CAR-nya tetap tinggi.
Berdasarkan laporan keuangan
perbankan di Indonesia, laba perbankan pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar
23.56% dan NPL (kredit macet) mengalami peningkatan menjadi 7,56% pada tahun
2005. Pertumbuhan kredit yang tinggi
menjadi hal yang menonjol pada tahun 2008. Gejala pertumbuhan kredit yang pesat sebenarnya sudah mulai
terlihat sejak tahun 2007. Waktu itu pertumbuhan
kredit mencapai 25% atau lebih tinggi dari target sebesar 22%. Pada tahun 2008, sesuai Rencana Bisnis, perbankan
menargetkan pertumbuhan kredit sekitar
24%. Sebelum tahun 2008 berakhir, target kredit tersebut sudah terlampaui hingga mencapai puncaknya pada bulan Oktober
2008 dengan pertumbuhan 37%.
Sejalan dengan meningkatnya
tekanan karena memburuknya perekonomian, sejak bulan November 2008 pertumbuhan kredit mulai
melambat sehingga mencapai 29,5% pada
akhir tahun.
Penyaluran kredit tidak hanya
berpotensi meningkatkan laba, tapi juga sering
disertai peningkatan kredit macet (NPL). Peningkatan NPL juga akan mempengaruhi bank dalam penyaluran kredit pada
periode berikutnya. Sepandai apapun
analis kredit dalam menganalisis setiap permohonan kredit, kemungkinan kredit tesebut macet pasti ada (Kasmir,
2003:115). NPL merupakan variabel yang sensitif
karena sebagian besar memperlihatkan keburukan kinerja manajer dalam mengelola kredit bermasalah (Nasser, 2003).
Selama semester II 2008, kenaikan nominal
NPL cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya tekanan perlambatan
perekonomian. Kenaikan nominal NPL perlu diwaspadai apalagi kondisi ekonomi tengah kurang menggembirakan.
Dilihat dari sisi rasio NPL, dibandingkan
dengan posisi akhir semester I 2008, rasio NPL gross menurun menjadi 3,76%. Rendahnya rasio NPL dipengaruhi
oleh tingginya peningkatan kredit yang
jauh melebihi peningkatan nominal NPL.
Perbankan mengalami peningkatan
laba pada tahun 2006 (Rp 28,82 triliun) setelah
sempat mengalami penurunan pada tahun 2005 (Rp 22,65 triliun).
Besarnya laba ini bukan merupakan
hal yang sepenuhnya baik, diakibatkan : 1)
masih tingginya laba yang diciptakan melalui penempatan dana dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan obligasi
pemerintah. Ini merupakan bagian dari
laba perbankan yang diambil dari kantong masyarakat dan bukan karena aktivitas bisnis perbankan seperti
intermediasi antara kelompok masyarakat
penabung dan kelompok dunia, 2) menyangkut semunya data bahwa non performing
loan (NPL) senantiasa mengalami
penurunan pada tahun-tahun terakhir ini. Tentu saja dana yang tidak dipinjamkan perbankan kepada masyarakat
dan malahan ditempatkan dalam bentuk SBI
dan obligasi pemerintah hampir tidak mungkin tergelincir menjadi berstatus kredit macet. Dimana aset
dalam SBI, bobot resikonya dinilai
sebesar nol (nol perseratus). Selama manfaat yang diperoleh perbankan dari penempatan dana di SBI dan obligasi
pemerintah masih relatif tinggi, kesulitan
penyaluran kredit pada dunia usaha akan senantiasa menghadang.
Peningkatan laba yang masih sangat
mengandalkan SBI, jika dikaitkan dengan
tujuan diluncurkannya API yakni menciptakan perbankan yang membantu pertumbuhan ekonomi nasional, maka terlihat
jelas bahwa peningkatan laba dengan
cara membeli SBI tidak sejalan dengan ide diluncurkannya API. Bunga yang diperoleh dari SBI amat jauh berbeda
karakternya dibandingkan dengan bunga
yang diperoleh dari peminjaman oleh masyarakat.
Selama semester II 2008,
pendapatan bunga bersih perbankan lebih tinggi dibandingkan semester I 2008 sebagai akibat
dari penyaluran kredit yang masih tinggi,
namun ke depan hal ini berpotensi mengurangi profitabilitas. Profitabilitas yang dihasilkan dari pendapatan bunga tersebut
tidak seluruhnya dapat langsung menjadi
laba bersih bank. Hal tersebut karena perbankan mengantisipasi memburuknya kualitas kredit terkait
melambatnya pertumbuhan ekonomi ke depan
dengan meningkatkan beban Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Akibatnya, terjadi penurunan laba
operasional sekitar 30,6%, yaitu dari Rp17,6
triliun (Juni2008) menjadi Rp12,2 triliun (Desember 2008).
Perolehan laba selama semester II
2008 turun 33,9% setelah memperhitungkan
pajak, yaitu dari Rp18,4 triliun menjadi Rp12,2 triliun. Penting dicatat bahwa penurunan laba yang terjadi pada
paruh kedua tahun 2008 ini, merupakan
kecenderungan tahunan yang juga terjadi pada tahun 2007 yang lalu.

Skripsi Manajemen:Pengaruh LDR, NPL, ROA dan BOPO

Downloads Versi PDF >>>>>>>Klik Disini







Share

& Comment

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2015 Jual Skripsi Eceran™ is a registered trademark.

Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.