BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan hasil output
yang dibentuk oleh berbagai sektor ekonomi
sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang telah dicapai sektor ekonomi pada suatu kurun
waktu tertentu. Tingkat pertumbuhan ekonomi
menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode
tertentu. Pertumbuhan merupakan ukuran utama
keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai di lapisan paling
bawah, baik dengan sendirinya maupun campur
tangan pemerintah. Tingkat pertumbuhan harus berjalan secara beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan
kesempatan dan pembagian hasil-hasil pembangunan
dengan lebih merata.
Pemerintah merupakan salah satu
pelaku ekonomi yang memegang peranan penting dalam sebuah perekonomian modern. Pemerintah
memiliki kekuatan serta kemampuan untuk
mengatur dan mengawasi perekonomian, disamping itu juga mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan ekonomi yang tidak dapat
dilaksanakan oleh unit ekonomi lainnya seperti rumah tangga dan perusahaan. Bagi Negara yang
sedang berkembang, campur tangan pemerintah
relatif besar, maka peranan pemerintah dalam perekonomian juga relatif besar.
Dana Alokasi Umum,Dana Alokasi Khs,
dan Belanja Modal dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi pada umumnya, hal ini dapat
menciptakan berbagai prasarana yang dibutuhkan dalam proses pembangunan karena merupakan
salah satu komponen yang kenaikannya diharapkan
mampu untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB).
Fenomena yang terdapat pada
struktur APBD kabupaten/ kota di Indonesia yaitu pada sisi pendapatan terdapat ketergantungan yang
cukup tinggi terhadap peranan pemerintah pusat. Besarnya proporsi tersebut memberikan
satu petunjuk bahwa pembangunan perekonomian
daerah sangat dipengaruhi oleh posisi anggaran pusat. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999
yang diubah dengan Undangundang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang nomor 25 tahun
1999 yang diubah dengan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah, maka terjadi pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah.
Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi utama dari undang-undang tersebut bukan hanya pada
keinginan untuk melimpahkan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi
yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan sumber daya Keuangan Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat. Seiring dengan perubahan undang-undang yang berlaku maka
terjadi pergeseran komposisi belanja yang merupakan upaya logis yang dilakukan
pemerintah daerah (pemda) setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik.
Pergesaran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan,
bangunan, infrastruktur, dan harta tetap
lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal (belanja modal) diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan
pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat
partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya
peningkatan PAD (Mardiasmo, 2002).
Pemerintah daerah mengalokasikan
Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khs dan Belanja
Modal dalam APBD untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Alokasi dana-dana tersebut didasarkan pada kebutuhan
daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk
kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan
maupun untuk fasilitas publik. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik,
pemerintah daerah seharusnya mengubah
komposisi Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khs dan Belanja Modalnya. Selama ini Dana Alokasi Umum, Dana
Alokasi Khs dan Belanja Modal lebih banyak
digunakan untuk belanja rutin yang
relatif kurang produktif. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khs , Belanja Modal hendaknya dialokasikan untuk hal-hal
produktif, misalnya untuk melakukan
aktivitas pembangunan. Sejalan dengan
pendapat tersebut, Stine (1994) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak
untuk program-program layanan publik.
Kedua pendapat ini menyiratkan
pentingnya mengaloksikan Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khs dan Belanja Modal untuk berbagai
kepentingan publik.
Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi
Khs dan Belanja Modal yang dilakukan
oleh pemerintah daerah diantaranya
pembangunan dan perbaikan sektor pendidikan, kesehatan, transportasi, sehingga masyarakat juga
menikmati manfaat dari pembangunan daerah.
Tersedianya infrastruktur yang
baik diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan efektifitas di berbagai sektor, produktifitas masyarakat
diharapkan menjadi semakin tinggi dan pada gilirannya terjadi peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Terkait dengan hal ini, Nurlina (2004)
melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
apakah anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan hasil
estimasi dengan metode Ordinary Least Square (OLS) menunjukkan bahwa semua variabel bebas (pengeluaran rutin tahun
sebelumnya, dan pengeluaran pembangunan dua tahun sebelumnya) berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di NAD. Sementara itu untuk pengeluaran
pembangunan memiliki pengaruh yang negatif tetapi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
di Propinsi NAD selama kurun waktu penelitian.
Penelitian terdahulu ini memiliki keterbatasan dimana penggunaan sampel kabupaten/ kota di Nanggroe Aceh Darussalam
tidak sepenuhnya dapat dijadikan landasan untuk kasus di luar Nanggroe Aceh Darussalam.
Oleh karena keterbatasan
penelitian terdahulu tersebut, saya selaku peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian replikasi
dengan mengambil sampel di luar Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian replikasi ini akan
mengambil sampel kabupaten/ kota di Provinsi
Sumatera Utara. Berdasarkan pengumpulan data awal dapat diperoleh gambaran bahwa realisasi pertumbuhan ekonomi mengalami
fluktuasi yang sangat bervariasi pada 5 (lima)
kabupaten dan 5 (lima) kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Hal ini dapat
dilihat pada table 1.1 berikut ini.
Tabel 1.1
Pertumbuhan Realisasi Pertumbuhan
Ekonomi (PDRB) No Kota dan Kabupaten Tahun
PDRB atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2000 ** (Miliaran Rupiah) ∆ (%) 1 Binjai
2004 2.100,16 2, 2005
2.494,77 2, 2006 2.889,99
2, 2 2004
33.115,35 33, 2005 42.792,45
42, 2006 49.056,86 49, 3
Sibolga 2004 718,60
0, 2005 826,27 0, 2006
931,52 0, 4 Tanjung Balai
2004 1.574,16 1, 2005
1.763,00 1, 2006 1.972,65
1, 5 Tebing Tinggi 2004
1.091,22 1, 2005 1.543,00
1, 2006 1.417,74
1, 6 Toba Samosir 2004
1.748,17 1, 2005 1.895,77
1, 2006 2.082,10 2, 7
Asahan 2004 14.517,68
14, 2005 15.527,79 15, 2006
16.648,38 16, 8 Deli Serdang
2004 15.872,39 15, 2005
19.136,23 19, 2006 21.800,42
21, 9 Tanah Karo 2004
3.270,43 3, 2005 3.683,02
3, 2006 3.978,80 3, 10
Simalungun 2004 5.578,94
5, 2005 6.256,96 6, 2006
6.843,96 6, Sumber : **
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara, tahun 2004 s.d Kota Binjai
pada tahun 2005 dan 2006 mengalami peningkatan PDRB dari tahun sebelumnya yaitu masing-masing sebesar 2,49%
dan 2,88%.
0 komentar:
Posting Komentar