Kekurangan bahan baku kayu sebagai bahan bangunan dan mebel
cenderung semakin besar di masa-masa mendatang. Hal ini disebabkan oleh
kerusakan hutan yang semakin parah dan disertai dengan permintaan kayu yang
semakin meningkat. Menurut Direktorat Jendral Bina Produksi Kehutanan (2006)
bahwa produksi kayu bulat 5 tahun terakhir dalam kurun waktu 2001-2005 berkisar
antara 11-21 juta m3/tahun
kecuali tahun 2005 produksi kayu bulat tersebut mencapai 24 juta m3. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan
kayu pada tiap tahunnya terus meningkat, sedangkan pasokan kayu yang ada saat
ini tidak dapat mencukupi kebutuhan tersebut. Untuk itu perlu segera
diantisipasi karena akan membahayakan kelestarian hutan di satu sisi dan
kelanjutan industri perkayuan disisi lain.
Salah satu cara untuk mengantisipasi hal tersebut adalah
dengan mengurangi penggunaan kayu yang selama ini dipergunakan, dengan
bahan-bahan non kayu yang masih terbatas atau belum optimal pemanfaatannya.
Contohnya adalah limbah batang sawit dan limbah plastik. Ketersediaan
bahan-bahan tersebut di Indonesia cukup berlimpah sehingga peluang
pemanfaatannya sebagai bahan baku papan komposit sangat memungkinkan. Pembuatan
komposit dengan menggunakan plastik murni dan yang telah didaur ulang, selain
dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu, juga dapat mengurangi pembebanan
lingkungan terhadap limbah plastik disamping menghasilkan produk inovatif
sebagai bahan bangunan pengganti kayu.
Limbah batang sawit masih belum dimanfaatkan secara optimal
bahkan limbah tersebut seringkali dibuang bahkan dibakar tanpa adanya
pengolahan lebih lanjut menjadi suatu produk yang dapat dimanfaatkan dan
memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Penggunaan plastik makin meningkat dan
limbah plastik yang dihasilkan pun makin meningkat. Plastik polipropilen banyak
digunakan sebagai bahan kemasan bentuk film dan kantong yang dalam
penggunaannya untuk kehidupan sehari-hari sukar terdegradasi di alam sehingga
menimbulkan masalah pencemaran.
Ketahanan kayu dan non kayu yang mengandung lignoselulosa
terhadap serangan fungi merupakan salah satu parameter yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan kayu untuk dijadikan suatu produk. Dalam hal ini limbah
batang sawit mempunyai salah satu kelemahan yaitu memiliki kadar air dan
kandungan pati dalam batang yang tinggi. Jika dijadikan sebagai produk langsung
seperti papan serat, papan partikel, dan papan penggergajian maka produk yang
dihasilkan menjadi tidak stabil dan rentan terhadap serangan mikroorganisme
(fungi, rayap dan serangga). Untuk meningkatkan kualitas limbah batang kelapa
sawit agar penggunaan produk menjadi stabil, dapat ditambahkan dengan bahan
yang bersifat menolak air (hidrofobik) seperti plastik.
Fungi merupakan kelompok jasad hidup yang mempunyai inti sel
dengan membran inti yang sempurna, tidak mempunyai klorofil, uniseluler atau
multiseluler serta berkembang biak dengan spora. Spora fungi tidak terbentuk
dari hasil pembiakan vegetatif maupun generatif. Fungi tidak mempunyai klorofil
maka hidupnya bersifat heterotrof dapat sebagai parasit atau sebagai saprofit
(Tarigan, 1988).
Beberapa hal di atas melatarbelakangi dilakukannya
penelitian dengan judul “Ketahanan Papan Komposit dari Limbah Batang Sawit (Elaeis
guineensis Jacq) dan Plastik Polipropilen (PP)
Terhadap Fungi pelapuk kayu (Pycnophorus sanguinius FR dan Schizophyllum commune FR)”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji ketahanan
papan komposit dari limbah batang sawit dan plastik polipropilen terhadap
serangan fungi.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan alternatif
penggunaan bahan baku pengganti kayu yang semakin berkurang ketersediaannya.
Tersedianya informasi tentang ketahanan papan komposit
terhadap serangan fungi pelapuk kayu.
Bagian batang limbah sawit (dalam, luar dan campuran
dalam-luar) dan jenis matriks (plastik polipropilen murni dan polipropilen daur
ulang) di duga akan mempengaruhi kualitas papan komposit terhadap serangan
fungi perusak kayu.
Download lengkap Versi Word
0 komentar:
Posting Komentar