A.
Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi di Indonesia yang semakin
pesat ini membuat para investor lebih
berhati-hati dalam berinvestasi pada suatu perusahaan.
Keinginan masyarakat untuk
menanamkan sahamnya pada suatu perusahaan dianggap menjadi bisnis yang menguntungkan
daripada harus menabung dana tersebut
dalam bentuk deposito, karena selain akan mendapatkan dividen, masyarakat juga dapat mendapatkan keuntungan
dalam bentuk capital gain.
Untuk mendapatkan keuntungan
tentunya saham tersebut harus dibeli ketika harganya murah dan menjualnya pada saat harga
mahal.
Faktor fundamental selalu menjadi acuan investor dalam membuat keputusan investasi di pasar modal. Dalam
analisa fundamental, cukup banyak analisa
rasio-rasio yang dipergunakan. Salah satu rasio yang paling favorit digunakan adalah rasio harga dengan laba bersih
(Price Earning Ratio/PER).
Price Earning Ratio (PER) menjadi
favorit karena cukup mudah dipahami oleh investor maupun calon investor (www.idx.co.id,
April 2009).
Penggunaan PER dalam strategi
investasi saham biasanya mengkaitkan rasio
PER dengan nilai intrinsik (intrinsic
value) atau nilai fundamental (fundamental value) yang merupakan nilai
seharusnya dari suatu saham yang diperkirakan
berdasarkan model penilaian saham (Jogiyanto, 2000). Model penilaian
saham merupakan suatu mekanisme untuk mengubah serangkaian 1 variabel perusahaan (misalnya penjualan,
laba dan dividen) yang diamati menjadi perkiraan
tentang harga saham (Abdul Halim, 2003).
Price Earning Ratio (PER) adalah suatu rasio yang menggambarkan bagaimana keuntungan perusahaan atau emiten saham
(company’s earnings) terhadap harga sahamnya (stock price). Perhitungan Price Earning Ratio (PER)
dilakukan dengan cara membagi harga
saham saat ini (current price of the stock) dengan keuntungan tahunan per saham (annual
earning per share) (www.smartmarket.wordpress.com,
Oktober 2009). Price Earning Ratio (PER) digunakan untuk mengukur nilai perusahaan pada
saat tertentu berdasar laba yang dicapainya
yang dihitung dengan membagi harga saham di pasar dengan labanya.
Dengan mengetahui PER suatu perusahaan
diketahui posisi saham relatif terhadap saham-saham
lainnya (Subekti, 2002) . Secara umum dikatakan bahwa PER yang rendah mengindikasikan murahnya harga saham,
sehingga layak untuk dibeli.
Namun demikian, ada kalanya
investor tetap membeli saham yang memiliki PER tinggi kalau investor tersebut percaya pada
potensi perkembangan beberapa tahun kemudian
(Cahyono, 2000).
Dalam menilai saham dengan PER,
pemodal dan analis sekuritas diharapkan
memahami faktor fundamental perusahaan sebagai pedoman untuk menilai PER sehingga kewajaran harga saham
dapat dinilai juga. Sesuai dengan pandangan
bahwa harga saham mencerminkan harapan para investor atau pasar terhadap prospek suatu perusahaan, maka
faktor-faktor yang mempengaruhi harga pasar
saham, juga akan berpengaruh terhadap PER (Praditya, 2004).
1 Setiap pergerakan harga saham akan mengakibatkan perubahan pula PER dari suatu perusahaan. Para investor harus
mampu menyikapi apabila terjadi pergerakan
harga saham yang mengakibatkan PER rendah dan bagaimana investor menyikapi apabila PER tinggi. Bagi
investor, PER rendah akan memberikan
kontribusi tersendiri, karena selain dapat membeli saham dengan harga yang relatif murah, kemungkinan untuk
mendapatkan capital gain juga semakin
besar sehingga investor dapat memiliki banyak saham dari berbagai perusahaan yang go public. Sebaliknya, emiten
menginginkan PER yang tinggi pada waktu
go public untuk menunjukkan bahwa kinerja perusahaan cukup baik dengan harapan agar harga saham akan tinggi
pula (Sartono, 1997).
Harga saham merupakan indikator
nilai dan pencerminan yang relevan dari
kondisi perusahaan. Harga saham juga merupakan harga yang terbentuk di bursa saham. Perkembangan harga saham suatu
perusahaan mencerminkan nilai saham
perusahaan tersebut, sehingga kemakmuran dari pemegang saham dicerminkan dari harga pasar sahamnya (Husnan,
2001). Semakin tinggi harga saham, maka
makin tinggi pula nilai perusahaan, demikian pula sebaliknya, semakin rendah
harga saham maka makin rendah pula nilai perusahaan tersebut dimata investor. Harga saham yang terlalu
rendah sering kali diartikan dengan kinerja
perusahaan yang kurang baik. Tetapi disisi lain, bila harga saham terlalu tinggi
akan dapat mengurangi kemampuan investor untuk membeli sehingga akibatnya akan sulit bagi perusahaan untuk
meningkatkan harga sahamnya lagi.
Harga saham yang terlalu tinggi
nantinya akan menghabiskan anggaran investor
dan kesulitan untuk menjualnya kembali dengan harga yang melebihi 1 harga pembeliannya ditambah kebijakan
stock split terhadap saham-saham yang harganya
sudah cukup tinggi yang mengakibatkan jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang saham menjadi bertambah banyak
dengan nilai nominal per saham yang
lebih kecil dan berdampak pula pada harga saham dimana harga saham juga secara bersamaan turun (Jogiyanto, 2003).
Perusahaan yang menjadi objek
dalam penelitian ini adalah perusahaan telekomunikasi
terbuka di Indonesia, yaitu PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom), PT
Indonesian Satellite Corporation Tbk (Indosat), dan PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL). Perusahaan ini
dipilih sebagai objek penelitian didasari
oleh beberapa alasan. Alasan pertama karena saham ketiga perusahaan ini tergolong ke dalam saham Blue Chips dengan nilai kapitalisasi sebesar
Rp 59.440.000.000.000 untuk saham PT
Telkom, Rp 12.220.000.000.000 untuk saham
PT Indosat, dan Rp 8.453.145.000.000 untuk saham PT XL per Desember 2005
(www.idx.co.id, Oktober 2009). Alasan kedua, perusahaan telekomunikasi adalah perusahaan khs, hal ini ditunjukkan
dengan adanya standar akuntansi pendapatan
jasa telekomunikasi yang diatur khs dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 35. Tujuan
pernyataan ini adalah untuk mengatur
perlakuan akuntansi dan cara pengukuran pendapatan jasa telekomunikasi (IAI, 2002). Perusahaan ini
dipilih sebagai objek penelitian karena perusahaan
memiliki sejarah pertumbuhan yang baik, memiliki nilai pasar dan likuiditas tinggi, saham-saham dalam jangka
panjang masih tetap menarik, serta merupakan
jenis saham yang paling aktif dan diminati oleh para investor maupun calon investor. Dalam kaitan itu maka data
yang akurat, mutlak menjadi 1 pertimbangan
utama calon investor. Perusahaan sektor telekomunikasi ini juga memiliki tiga ciri yang sangat vital, yaitu
capital intensive, technology intensive dan regulation intensive(www.swa.co.id,
Juni 2009).
Berikut ini adalah aktifitas
perdagangan saham perusahaan periode 2006-2008: Tabel 1.
Jumlah Saham yang Dijual (Shares
Traded) Pada PT. Telekomunikasi Indonesia
Tbk, PT Indosat Tbk, dan PT Excelcomindo Pratama Tbk periode 2006-2008 Keterangan
Tahun Jumlah Saham Yang Dijual Volume (ribuan) Nilai (jutaan) Frekuensi (X)
Hari Harga PT Telekomunikasi
Indonesia, Tbk 2006 6425
49812 146394 242
1010 2007 7215 74639
265764 246 1015 2008
7768 60892 299972
240 690 PT Indosat, Tbk.
0 komentar:
Posting Komentar