BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam sejarah
perkembangan otonomi di negara kita sampai sekarang, secara legal formal, paling tidak sudah ada 7
(tujuh) Undang-undang Pemerintahan
Daerah (UU 1/45; UU 22/48; UU 1/57; UU 18/65; UU 5/74; UU 22/99; UU 32/2004). Setiap Undang-undang
terwujud dari sistem politik dan pemerintahan
yang berubah-ubah sesuai dengan keadaan pada waktunya. Ketika Indonesia baru merdeka, Undang-undang tentang
otonomi daerah bisa dikatakan “sangat
darurat”, karena hanya terdiri dari 6 pasal, dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Di era ke-dua, melalui UU No. 22
tahun 1948 otonomi yang ada dikenal
dengan otonomi material, yakni pemerintah pusat menentukan kewajiban apa saja yang diserahkan kepada daerah (kewenangan
dirinci dari pusat). Era Orde Baru,
dengan UU No. 5 tahun 1974 disebutkan bahwa otonomi merupakan otonomi nyata dan bertanggung jawab dan kepala
daerah merupakan wakil pemerintah pusat
di daerah. Wujud desentralisasi atau otonomi bertitik tekan pada deconcentration overshadowing decentralization
(sistem dekonsentrasi lebih dominan dari
sistem desentralisasi). Ketika politik pemerintahan berbentuk “demokrasi” (misal di Era Reformasi maka wujud
desentralisasi atau otonomi bertitik
tekan pada “devolution” yang menumbuhkan euphoria yang sering tidak terkendali (Nugroho, 2001:224-232; Utomo,
2006: 187).
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dengan Daerah lahir diawali reformasi
politik, yakni dengan berakhirnya rezim
Orde Baru tahun 1998. Era reformasi merupakan titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di Indonesia ke arah
yang nyata. Dengan UU No.22 Tahun 1999
ini daerah terutama kabupaten dan kota lebih leluasa untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan daerahnya.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
yang mengatur pelaksanaan otonomi daerah
meletakkan titik berat pada tingkat pemerintah kabupaten dan kota. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan
pasal 7 dan pasal 11 Undang-undang tersebut
yang memberikan kewenangan sisa kepada kabupaten dan kota. Semua kewenangan yang tidak disebutkan dalam UU
No.22 Tahun 1999 sebagai kewenangan
pusat dengan sendirinya menjadi kewenagan kabupaten dan kota.
Pemberian kewenangan sisa,
penyelenggaraan asas desentralisasi, pemilihan
kepala daerah mencerminkan konteks otonomi daerah yang bersifat politis. Untuk dapat melaksanakna kewenangan
yang bersifat politis tersebut, pemerintah
kabupaten dan kota kemudian harus memiliki otonomi internal yang meliputi: otonomi organisasi, otonomi
kepegawaian, otonomi keuangan dan otonomi
perencanaan. Otonomi internal ini akan menjadi penentu dan menjadi faktor penting untuk melaksanakan otonomi
secara keseluruhan (Prasojo, 2003: 2) Dalam Utomo (2006) disebutkan, Untuk
melaksanakan UU No. 22 Tahun 1999 ini
paling tidak dibutuhkan 48 peraturan-peraturan pelaksananya. Salah satu aspek penting dan menjadi isu strategis dalam
Undang-Undang ini adalah mengenai
kelembagaan ataupun sContoh Skripsi Publicnan pemerintahan daerah. Pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor
84 Tahun 2000 sebagai pedoman bagi
Daerah dalam menyContoh Skripsi Publicn organisasi perangkat daerahnya. PP No.
84 Tahun 2000 ini diubah dengan
lahirnya PP Nomor 8 Tahun 2003 yang bertujuan
mewujudkan postur organisasi perangkat daerah yang lebih proporsional, efisien, dan efektif yang disContoh
Skripsi Publicn berdasarkan prinsip-prinsip organisasi secara rasional dan objektif.
Berdasarkan ketentuan yang
terdapat di dalam PP No. 8 Tahun 2003 Tentang
Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, dalam pasal 2 ayat 1 (satu) disebutkan bahwa besaran Organisasi Perangkat
Daerah ditentukan berdasarkan pertimbangan
kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh Daerah; karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah; kemampuan
keuangan Daerah; ketersediaan sumber
daya aparatur; serta pengembangan pola kerja sama antar Daerah dan/atau dengan pihak ketiga. Penetapan Peraturan
Pemerintah ini sesuai dengan ketentuan pasal
60 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa Perangkat Daerah terdiri dari
Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga
Teknis Daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah. Pedomanpedoman inilah
yang kemudian digunakan oleh Daerah untuk menyContoh Skripsi Publicn Peraturan Daerah tentang sContoh Skripsi Publicnan
organisasi perangkat daerah.
Kekurangan-kekurangan akibat persiapan
yang sangat terbatas dalam implementasi
dan iklim politik pemerintahan yang masih dalam masa transisi kemudian menjadi faktor yang mengakibatkan
harus dilakukannya perbaikan-perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 dan Undang No. 25 Tahun 1999 ini.
Undang-Undang Otonomi daerah yang baru yakni, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah
ditetapkan sebagai revisi atas Undang-Undang sebelumnya. Dengan perubahan ini peraturan-peraturan pelaksana
tentu juga perlu dilakukan perubahan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004, pasal 5 disebutkan bahwa:
“Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari pengertian tersebut di atas
maka akan tampak bahwa daerah diberi hak otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur
dan mengurus kepentingan sendiri.
Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 ditetapkan untuk membatasi kebebasan
yang berhubungan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Sedangkan dibidang kelembagaan
pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Sejalan dengan diberlakukannya
undang-undang otonomi tersebut memberikan
kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya
perimbangan tugas fungsi dan peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
tersebut menyebabkan masing-masing daerah
harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung
jawab penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan
kompetitif di dalam pelaksanaan pemerintahan
maupun pembangunan daerahnya masing-masing.
Sesuai dengan Undang-Undang No.
32 pasal 3, dimana pemerintah daerah terdiri
dari Gubernur, Bupati, Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara daerah. Perangkat daerah terdiri
dari unsur staf yang membantu penyContoh
Skripsi Publicnan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk
inspektorat, unsur perencana yang diwadahi
dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyContoh Skripsi Publicnan dan pelaksanaan
kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur
pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam
dinas daerah.
Dasar utama penyContoh Skripsi
Publicnan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi
kewengan daerah, yang terdiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk
ke dalam organisasi tersendiri.
Dengan perubahan terminologi
pembagian urusan pemerintah yang bersifat konkuren (kewenangan bersama) berdasarkan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka
dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi fungsi-fungsi pemerintahan tersebut pada masing-masing
tingkatan pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2007 tentang Organisasi perangkat Daerah
ini pada prinsipnya dimaksudkan memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi
yang efisien, efektif, dan rasional sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi, singkronisasi, dan
simplikasi serta komunikasi kelembagaan antara
pusat dan daerah. Dalam peraturan pemeritah tersebut, besaran organisasi perangkat
daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi
sasaran tugas yang harus diwujudkan,
jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah
yang bertalian dengan urusan yang akan
ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas.
PP Nomor 41 Tahun 2007 ini
menetapkan kriteria untuk menentukan jumlah
besaran organisasi perangkat daerah masing-masing pemerintah daerah dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah
APBD, yang kemudian ditetapkan
pembobotan masing-masing variabel yaitu 40% (empat puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk,
35% (tiga puluh lima persen) untuk
variabel luas wilayah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk variabel jumlah APBD, serta menetapkan variabel
tersebut dalam beberapa kelas interval.
Demikian juga mengenai jumlah sContoh
Skripsi Publicnan organisasi disesuaikan dengan beban tugas masing-masing perangkat daerah.
Penetapan kelas interval untuk
daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditentukan dengan skala yang berbeda-beda. Hal
ini sesuai dengan kondisi dan karakteristik
daerah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kebutuhan akan besaran Organisasi Perangkat Daerah juga senantiasa
juga tidak sama dan tidak seragam.
0 komentar:
Posting Komentar