Download Skripsi Public Administration:Pelaksanaan Fungsi Maujana Nagori Dalam Mewujudkan Good Governance
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Setelah Orde Baru
jatuh dikarenakan reformasi maka istilah
Good Governance begitu popular.
Hampir di setiap peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah
ketinggalan. Bahkan dalam pidatopidato, pejabat negara sering mengutip
kata-kata di atas. Good Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah
masyarakat.
Meskipun kata Good Governance
sering disebut pada berbagai peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian Good Governance
bisa berlainan antara satu dengan yang
lain. Ada sebagian kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja
pemerintahan suatu negara, perusahaan
atau organisasi masyarakat yang memenuhi
syarat- syarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai penerjemahan yang nyata dari demokrasi dengan memastikan bahwa adanya budaya
mementingkan kepentingan umum atau
negara sebagai penopang demokrasi itu sendiri.
Masih banyak lagi ‘tafsir’ Good
Governance yang diberikan oleh berbagai pihak.
Seperti yang didefinisikan oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance
adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip
demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran
salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin
anggaran. Namun, Good Governance pada
umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti
kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsipprinsip dasar Good Governance.
Kehadiran konsep daerah pada
otonomi daerah reformasi bagi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahaan di desa telah
memberikan dinamika dan suasana demokratis
di dalam pemerintahan desa. Keberadaan institusi-institusi demokrasi selama ini (orde baru) hanya sebagai wadah
formal yang tidak memiliki celah atau peluang
untuk mendorong penegakan sistem demokrasi pada masyarakat pedesaan.
Sebagai wujud pelaksanaan
demokrasi tersebut, maka di desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berfungsi sebagai
lembaga legislatif atau parlemennya desa.
Sebagai parlemennya desa BPD berfungsi dalam mengawasi pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan
belanja desa serta keputusan kepala desa.
Peraturan Desa (Perdes),
merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang relatif baru, dalam kenyataan di lapangan
belum begitu populer dibandingkan dengan
bentuk peraturan perundang-undangan yang lain. Karena masih relatif baru dalam praktek-praktek penyelenggaraan
pemerintahan di tingkat desa, seringkali Perdes ini diabaikan. Bahkan masih banyak dari
pemerintah dan bahkan masyarakat desa
mengabaikan Perdes ini sebagai dasar penyelenggaraan urusan kepemerintahan di tingkat desa.
Kenyataan seperti itu berdampak
pada kurangnya perhatian pemerintahan desa
dalam proses penynan sampai pada implementasi suatu Perdes. Banyak pemerintahan desa yang bersikap tidak peduli
terhadap peraturan desa, sehingga seringkali
Perdes disn secara sembarangan. Padahal Perdes hendaknya disn secara sungguh-sungguh berdasarkan kaidah
demokrasi dan partisipasi masyarakat sehingga
benar-benar dapat dijadikan acuan bagi penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa.
Sejak lahirnya Perdes sebagai
dasar hukum yang baru bagi penyelenggraan pemerintahan di desa, pembentukannya lebih
banyak atau bahkan hampir seluruhnya disn
oleh pemerintah desa tanpa melibatkan lembaga legislatif di tingkat desa (Badan Perwakilan Desa dan sekarang disebut
Badan Permusyawaratan Desa), apalagi
melibatkan masyarakat. Padahal demokratisasi penynan perundangundangan bukan
saja menjadi kebutuhan di nasional namun juga di lokal desa.
Pada era otonomi daerah,
dipandang perlu penguatan lembaga-lembaga desa serta penguatan organisasi-organisasi
masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa. Penguatan lembaga-lembaga desa serta organisasi masyarakat desa ini perlu supaya ada pembatasan dominasi
kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintah
di desa.
Dengan berlakunya Undang-undang
tentang Pemerintahan Daerah yang baru, yaitu
UU No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999, fungsi serta kewenangan Badan Perwakilan Desa yang
berdasarkan UU 32/2004 diganti nama menjadi
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak menjalankan fungsi kontrol, yaitu hanya berfungsi menetapkan peraturan
desa bersama kepala desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat .
Meskipun BPD berdasarkan UU 32 /
2004 tidak memiliki fungsi pengawasan terhadap kepala desa, tetapi dari sisi
pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan masih terbuka dengan diberikannya
dua fungsi kepada BPD yang dulu dimiliki
oleh BPD berdasarkan UU 22 / 1999, yaitu fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan bersama
kepala desa menetapkan peraturan desa
(Perdes). Fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi dan fungsi menetapkan Perdes yang dimiliki BPD merupakan sarana
penting bagi pelembagaan partisipasi masyarakat
dalam proses pembangunan desa .
Pembuatan Perdes dalam konteks
otonomi daerah hendaknya ditujukan dalam kerangka: 1.
Melindungi dan memperluas ruang otonomi dan kebebasan masyarakat 2. Membatasi kekuasaan (kewenangan dan
intervensi) pemerintah daerah dan pusat, serta melindungi hak-hak prakarsa masyarakat
desa 3. Menjamin kekebasan masyarakat
desa 4. Melindungi dan membela kelompok
yang lemah di desa 5. Menjamin
partisipasi masyarakat desa dalam proses pengambilan keputusan antara lain, dengan memastikan bahwa
masyarakat desa terwakili kepentingannya dalam BPD 6.
Memfasilitasi perbaikan dan pengembangan kondisi sosial politik dan
sosial ekonomi masyarakat desa Widjaja
(2003:165) menjelaskan bahwa BPD berfungsi sebagai lembaga legislatif dan pengawasan terhadap pelaksanaan
peraturan desa, anggaran pendapatan dan
belanja desa (APBDes) serta peraturan kepala desa. Oleh sebab itu, kepala desa dengan persetujuan BPD mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum dan
mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan dengan pihak lain, menetapkan sumber-sumber pendapatan desa,
menerima sumbangan dari pihak ketiga dan
melakukan pinjaman desa. Kemudian berdasarkan hak asal-l desa bersangkutan, kepala desa dapat mendamaikan
perkara atau sengketa yang terjadi diantara
warganya.
Contoh Skripsi Public Administration:Pelaksanaan Fungsi Maujana Nagori Dalam Mewujudkan Good GovernanceDownloads Versi PDF >>>>>>>Klik Disini
0 komentar:
Posting Komentar