BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Ilmuan dalam
pandangan Islam adalah
sosok yang secara
bersamaan mengembangkan potensi
dzikir dan fikir
untuk menghasilkan amal
sholeh, yang dalam
Al-Qur’an disebut Ulul
Albab. Potensi dzikir
berperan menghadapi objek yang
suprarasional, dan mampu mempertajam kemampuan
intuitif, emosional, dan
spiritual. Potensi fikir
berperan menghadapi objek
yang rasional. Dzikir
mewakili aktifitas pada
aspek ghaibiyah dan
fikir mewakili aktifitas
pada aspek syahadah.
Paradigma Ulul Albab
ini dapat digunakan dalam belajar matematika (Abdussakir.
2007: 23 - 24).
Matematika sebagai salah satu
cabang keilmuan merupakan alat yang
menjadi dasar setiap
ilmu pengetahuan dan
selalu ada dalam
setiap ilmu pengetahuan
dan setiap aktivitas
manusia sehari-hari. Sebagaimana
ada anggapan yang menyatakan
bahwa “teknologi merupakan raja perkembangan
dan kemodernan dunia,
sedangkan ilmu matematika
adalah permaisurinya”.
Misalnya dimulai dari
perhitungan-perhitungan yang sangat sederhana
seperti uang belanja
dapur sampai penggunaan
komputer dan perhitunganperhitungan untuk
mencapai ruang angkasa
dalam teknologi modern.
Jadi tidaklah salah jika
dikatakan bahwa matematika adalah dasar dari segala ilmu yang dapat diaplikasikan dimana saja.
Matematika ada
dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya himpunan.
Kita mengenal
dan mempergunakan konsep
himpunan dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya Himpunan
Mahasiswa Jurusan Matematika,
Himpunan Wanita Karya,
Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia (HIPMI), Himpunan
Kerukunan Tari Indonesia
(HKTI), Himpunan Bank
Swasta Nasional (Perbanas),
dan lain-lain. Konsep
himpunan itu tidak
hanya dipergunakan secara
intuitif dalam kehidupan
sehari-hari, tetapi telah
pula dikembangkan menjadi konsep formal yang dewasa ini menjadi
konsep yang paling mendasar dalam
matematika (Susilo. 2006: 36).
Pada konsep
himpunan dikenal himpunan
tegas (crisp), yaitu
himpunan yang terdefinisi secara tegas
dalam arti bahwa untuk setiap elemen
dalam semestanya selalu dapat ditentukan secara tegas apakah
ia merupakan anggota dari
himpunan itu atau
tidak. Dengan perkataan
lain, terdapat batas
yang tegas antara unsur-unsur yang merupakan anggota dari suatu
himpunan.
Tetapi dalam
kenyataannya tidak semua
himpunan yang kita
jumpai dalam kehidupan
sehari-hari terdefinisi secara
demikian itu, misalnya
himpunan orang miskin, himpunan
mahasiswa pandai, himpunan orang yang tinggi, dan sebagainya.
Pada himpunan orang
yang tinggi,misalnya, kita
tidak dapat menentukan
secara tegas apakah
seseorang adalah tinggi
atau tidak. Kalau
misalnya kita definisikan bahwa “orang tinggi” adalah orang
yang tingginya lebih besar
atau sama dengan
1.75 meter, maka
orang yang tingginya
1.74 meter menurut
definisi tersebut termasuk
orang yang tidak
tinggi. Hal itu
menunjukkan bahwa memang
batas antara kelompok
orang tinggi dan
kelompok orang tidak tinggi tidak dapat ditentukan secara tegas (Susilo.
2006: 49 - 50).
Untuk mengatasi
permasalahan himpunan dengan
batas yang tidak
tegas itu, Lofti A. Zadeh,
seorang ilmuan Amerika Serikat berkebangsaan Iran dari
Universitas California di
Barkeley mengaitkan himpunan
semacam itu dengan
suatu fungsi yang
menyatakan derajat kesesuaian
unsur-unsur dalam semestanya
dengan konsep yang
merupakan syarat keanggotaan
himpunan tersebut. Fungsi
itu disebut fungsi
keanggotaan dan nilai
fungsi itu disebut
derajat keanggotaan suatu
unsur dalam himpunan
itu, yang selanjutnya
disebut himpunan fuzzy (Susilo. 2006: 50).
Dalam kamus
Oxford, istilah fuzzy
didefinisikan sebagai blurred (kabur atau
remang-remang), indistinct (tidak
jelas), imprecisely defined
(didefinisikan secara tidak presisi),
confused (membingungkan), vague (tidak
jelas). Penggunaan istilah “sistem fuzzy” tidak dimaksudkan untuk
mengacu pada sebuah
sistem yang tidak
jelas/kabur/remang-remang
definisinya, cara kerjanya, atau deskripsinya. Sebaliknya, yang
dimaksud dengan sistem fuzzy adalah sebuah
sistem yang di
bangun dengan definisi,
cara kerjanya, atau
deskripsi yang jelas berdasar pada Teori Fuzzy Logic (Naba. 2009: 1).
Maksud dari fuzzy adalah makna dari kata/istilah yang menjadi
objek dari teori, sedangkan teorinya
sendiri yang dikembangkan untuk memodelkan
dan menyelidiki gejala
kekaburan itu adalah
teori yang tegas
dan pasti, sehingga
logika fuzzy umumnya
diterapkan pada masalah-masalah yang
mengandung unsur ketidakpastian (uncertaintly).
Pada himpunan
fuzzy nilai keanggotaan
terletak antara rentang
0 sampai 1.
Apabila memiliki
nilai keanggotaan fuzzy
= 0
berarti
tidak menjadi anggota
himpunan A, demikian
pula apabila memiliki
nilai keanggotaan fuzzy = 1
berarti menjadi
anggota penuh himpunan [A].
(Kusumadewi dan
purnomo. 2004: 6).
Seperti halnya pada
himpunan tegas, kita
dapat mendefinisikan operasi
uner, yaitu “komplemen”
dan operasioperasi biner, yaitu
“gabungan” dan “irisan” pada himpunan-himpunan kabur (Susilo. 2006:64).
0 komentar:
Posting Komentar